Kontestan nomor urut 02, yaitu pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemenang Pilpres 2024. Ada hal yang menarik dari visi misi dan program kerja dari pasangan ini yang belakangan menjadi diskursus bahkan bullying kepada pasangan ini. Program ini adalah pemberian makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil untuk mencegah stunting pada anak Indonesia.
Program ini penting untuk dikulik dan dikritisi lebih dalam mengingat pasangan ini akan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun mendatang. Program ini salah satu yang akan ditagih janjinya oleh masyarakat untuk diimplementasikan.
Program makan siang gratis atau school lunch program (SLP) untuk anak bukan hal baru di dunia. Jepang adalah satu dari puluhan negara yang sudah menginisiasi program ini sejak 1889 di sebuah sekolah dasar swasta di Kota Yamagata.
Hingga kemudian pada 1957, program SLP di Jepang diintegrasikan menjadi program wajib di SD dan SMP yang disubsidi oleh pemerintah dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Jepang. Program ini tentu bukan program sembarangan. Berbagai studi sudah mengevaluasi dampak program ini terhadap status kesehatan dan gizi anak sekolah.
Studi yg dilakukan oleh Asakura dan Sasaki di Jepang misalnya, SLP memberikan dampak signifikan terhadap kualitas diet yang lebih baik dari siswa. Tentu kualitas diet yang baik akan berkorelasi dengan status gizi dan kesehatan anak serta performa belajar anak.
Penelitian lain yang spesifik dilakukan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat oleh tim peneliti dari Unversitas IPB yang mengevaluasi dampak dari program makan siang gratis di pondok pesantren selama sembilan bulan pada murid berusia 13-18 tahun. Program ini berhasil meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik terkait pola diet dan diikuti dengan penurunan prevalensi masalah anemia pada anak dari 42% menjadi 21%.
Poin Penting
Tentu dari berbagai pengalaman baik di Jepang dan berbagai studi yang sudah membuktikan keefektifan program SLP sebelumnya, banyak hal-hal operasional yang perlu digarisbawahi dalam implementasi program ini.
Pertama, memastikan isu supply chain mulai dari proses pengadaan, produksi hingga penyajian perlu dikelola dan dijamin standar prosesnya. Bagaimana mengatur proses pengadaan dan produksinya, apakah akan dikelola terpusat di sekolah atau dilakukan oleh pihak ketiga?
Bagaimana memastikan proses ini bebas dari praktik korupsi dan suap? Bagaimana cara memastikan semua makanan disiapkan aman dan halal terutama bagi yang beragama muslim atau memiliki riwayat alergi tertentu.
Berkaca dari program bantuan sosial yang selama ini dilakukan pemerintah, banyak sekali potensi kekeliruan sasaran dan kecurangan pengaturan paket yang diterima, yang mungkin juga bisa terjadi dalam program ini. Belum lagi potensi kontaminasi makanan yang berisiko terjadi hingga mengakibatkan keracunan bahkan kematian.
Kedua, memastikan program tepat sasaran. Pemerintah Jepang betul-betul memikirkan bukan hanya makanan bisa sampai tepat di meja siswa, namun juga isi makanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan porsi energi dan zat gizi siswa. Oleh karena itu, seorang ahli gizi ditugaskan di setiap sekolah untuk menyupervisi dan memonitoring pengaturan menu makan siang anak di sekolah. Pemberian makan siang atau susu yang tidak sesuai kebutuhan anak dan usianya, justru memicu masalah baru berupa kelebihan berat badan atau obesitas pada anak. Masalah ini tidak kalah serius dengan masalah stunting.
Melihat kompleksitas program ini dan pengalaman implementasi dari program serupa yang pernah diterapkan di Indonesia seperti bantuan langsung tunai atau bantuan sosial sembako. maka banyak juga yang memandang skeptis dan pesimis terhadap program ini.
Alih-alih berdampak positif, namun justru menjadi beban baru dalam APBN atau potensi lumbung korupsi baru. Di Jepang sendiri sebagai gambaran, satu orang anak SD dianggarkan 39 USD dan 44 USD untuk anak SMP setiap bulan untuk program SLP ini. Bukan jumlah kecil jika diterapkan di Indonesia.
Read more